Dunia,
Aku bisa!
Karya: Tinta Mutiara Nissa
Dedaunan mulai kering,
tak ada genangan air terlihat, begitu juga jiwaku yang gelisah dan suasana hati
yang memburuk ditambah pembuangan sampah yang menjadi pemandangan kelasku ini,
aromanya sungguh menggoda hidung.
“Sial!
Kenapa aku harus lulus tes itu lagi! Aku sungguh tak habis pikir, bagaimana aku
bisa melanjutkannya sementara aku benar-benar tidak minat. Ini semua memang
gara-gara Rara!”
Aku
putuskan untuk menemui Rara dikelasnya. Suasana yang berbanding terbalik dengan
lingkungan kelasku. Pemandangan taman sekolah yang sungguh indah dihiasi
kupu-kupu yang berterbangan disekelilingnya, seketika aku benar-benar ingin
jadi anak ipa.
“Rara
sedang rapat osis Vi, mau titip pesan apa? Nanti biar aku sampaikan.” Ucap
teman sebangku Rara ketika aku sedang kebingungan mencari batang hidung Rara
yang tak kunjung ku temukan.
“Oh…
Ngga usah Nik, nanti aku ke kos-kosannya aja seperti biasa, lagian ga ada yang
penting juga sih hehe.” Jawabku mengakhiri percakapan.
***
“Wahh
Fivi, ayo masuk sinih.” Suara Rara dari balik pintu kos-kosannya.
“Rara
aku ga terima! Ini semua gara-gara kamu! Kan aku udah bilang hari itu ga mau
ikutan tes kaya gituan, tapi kamu malah narik tangan aku. Itu namanya
pemaksaan! Tuh kan sekarang jadi gini, besok ada tes lagi dan aku harus
berhubungan sama tongkat itu lagiii…” Aku mulai cemberut.
“Ya
itung-itung kamu jadi partner temen lamamu ini buat ikutan tes kan hahaha… eh tapi kamu
juga hebat loh Vi, udah ikut tes tiga kali lulus terus, dari berpuluh-puluh
orang sekarang tersisa empat orang dan dua diantaranya itu kita, kalo aku liat
kamu itu berbakat sebenernya loh.”
“Ya
kalo kamu sih pantes jadi kandidat secara kamu osis udah gitu anak ipa, nah
aku?? Berbakat dari hongkong.”
“Udahlah
Vi, jangan suka merendah gitu, pokoknya tetep semangat ya.”
***
Energiku tadi terkuras habis karena nervous, keringatku bercucuran, rasanya seperti sedang berada dalam
film horror saja, tatapan bapak ibu guru yang mengujiku tadi benar-benar lebih
horror dari serial dunia lain di tv. Untung saja semua sudah berlalu.
Berjalan ke kelas memang melelahkan, kelas paling pojok
dan juga jorok, ah sudahlah. Tapi ada yang aneh, ada sekumpulan anak sedang
semangat berdesak-desakan didepan papan informasi itu, karena penasaran aku pun
ikut berlayar dilautan manusia yang bau burket
ini.
“Eh
liat… dia Fivi Ainun dari kelas bahasa, salah satu yang terpilih jadi Mayoret
di SMA kita loh hahaha.” Ucap seseorang disebelahku.
“Kok
dekil banget sih, anak buangan dari kelas bahasa yah… kasiaan. Yang kaya gini
mau jadi mayoret SMA kita? Malu-maluin aja deh” Ucap seseorang yang lain.
“Loh
dia itu kan anak dari janda yang jadi penari ronggeng itu kan, jangan heran
teman-teman dia itu biasa megat-megot
jadinya dipilih jadi Mayoret biar bisa menarik perhatian, ya kaya ibunya yang
suka menarik perhatian laki-laki yang sudah beristri, kabarnya juga ibunya itu
jadi wanita simpanan gitu. Kamu ga punya malu yah atau ga punya kaca!” Ucap Sarah,
dia kakak kelasku dan juga tetanggaku. Dia sudah lama menyimpan dendam padaku
entah karena apa, aku juga tak tahu.
“Hahahaha.”
Secara serempak gerombolan anak-anak itu menertawaiku dengan sinis.
Aku memilih berjalan meninggalkan tempat itu, tak ku dengarkan
omongan mereka karena aku sudah cukup biasa untuk mendengarkan cemooh semacam
itu, aku menyayangi ibuku, itulah yang terpenting. Dia tak pernah mengeluh
meski membesarkanku sendirian, dan pekerjaannya itu, orang lain tak pernah
benar-benar paham namun selalu menghina, sifat manusia.
***
Sudah tiga minggu, aku sungguh bekerja keras untuk
festival yang hanya tinggal seminggu lagi, untung saja Rara juga lulus dalam
tes itu dan kami berdua akhirnya bersama lagi. Karena hanya kami berdua maka
kami sungguh sangat bekerja keras untuk memimpin barisan marching band sekolah
kami yang sudah terkenal, ya SMA 2 Wangon memang terkenal dengan marching band
nya. Kami harus menghafalkan 10 lagu dengan notnya untuk pianika, belira, senar
drum, dan bass, kecerdasan kami sangat diuji dalam hal ini. Jika ada orang yang
berkata bahwa mayoret hanya bisa pasang muka, maka aku akan menyumpal mulutnya
dengan lembaran not-not ini.
***
Aku insomnia malam ini, sudah pukul 10 malam tapi mataku
tak mau membiarkan tubuhku beristirahat, mungkin karena aku sedang sangat
gelisah. Waktu hanya tersisa dua hari lagi sebelum hari festival tiba, tapi…
aku belum juga menemukan baju mayoret untuk kupakai. Kemarin aku sudah
berkeliling bersama Rara untuk mencari tempat penyewaan baju mayoret dan aku
sangat terkejut dengan harga sewanya, Rp.500.000 hanya untuk sebuah baju yang
ku pakai sekali. Rara jelas sudah tak gelisah lagi karena dia sudah menyewa
salah satu baju mayoret itu kemarin, dengan mudahnya ia mengeluarkan uang
sebanyak itu, ah dia kan memang anak orang kaya.
Tak kurasa waktu sudah menunjukan pukul 11 malam, aku pun
baru menyadari ternyata Ibu belum pulang sudah selarut ini, biasanya Ibu pulang
paling lambat pukul 10, apa tempat Ibu manggung
untuk menari itu jauh yah sampai membutuhkan waktu lama untuk pulang? Tapi
kenapa belakangan ini Ibu sering pulang larut malam? kenapa aku tiba-tiba
memikirkan perkataan Sarah waktu itu, dia bilang Ibu itu wanita simpanan?
Penggoda laki-laki yang sudah beristri? Kenapa aku mulai curiga pada Ibu? Apa
yang dibilang Sarah itu benar?
“Brum..Brum...”
Suara motor terdengar.
Itu pasti Ibu, kulihat
dari jendela kamarku, Ibu diantar oleh seorang laki-laki. Kecurigaanku semakin
memuncak. Dia juga membawa plastik besar yang dibungkus rapih, apa itu hadiah?
Kepalaku dipenuhi banyak tanda tanya.
“Kreeeek.”
Suara pintu terbuka.
Daripada aku menjadi anak yang berdosa karena mencurigai
Ibuku sendiri, aku memilih bertanya langsung saja padanya. Ku besarkan
keberanianku. Aku keluar dari kamar dan mendekatinya. Ku lihat Ibu sedang
tersenyum-senyum sendiri, senyum tipisnya mengeluarkan aroma kebahagian yang
dalam.
“Eh
Fivi kenapa belum tidur Nak, udah malem loh, nanti kesiangan”
“Emm,
aku sebenarnya mau tanya sama Ibu, tapi ibu jangan marah ya, tadi itu yang
mengantar Ibu siapa? Kenapa ibu sering pulang larut malam belakangan ini?
“Tadi
itu teman Ibu Nak…” Sembari mengelus rambutku, namun belum selasai Ia bicara,
aku memotongnya karena sudah tak tahan lagi.
“Bu
temanku bilang bahwa Ibu itu suka menggoda laki-laki yang sudah beristri dan
jadi wanita simpanan, apa itu benar? Siapa laki-laki yang mengantar Ibu tiap
malam itu? Lalu apa isi plastik yang ibu gengam itu? Kenapa Ibu senyum-senyum
sendiri? Bu jawab dengan jujur aku mohon.” Ku tahan air mata yang ingin menetes
ini.
“Ibu
paham dengan perasaanmu Nak, tapi apa kau lebih mempercayai temanmu itu
dibanding Ibu?” Aku menggeleng.
“Ibu
memang penari ronggeng namun pekerjaan ini Ibu lakukan karena ingin
melestarikan budaya dan meneruskan perjuaangan Nenekmu dulu, Ibu selalu pulang
malam karena Ibu ada pekerjaan tambahan yaitu merias penari lain untuk
mendapatkan uang lebih, lalu uangnya Ibu gunakan untuk menjaitkan baju mayoret
untukmu. Ini bukalah plastiknya, isinya baju mayoretmu, Ibu sangat bahagia
karena mampu memberikanmu baju ini, maafkan Ibu jika bajunya tak kamu sukai,
dan maafkan Ibu juga karena sering pulang larut malam ya Nak.” Aku menangis
deras dan Ibu mengelapnya lalu memelukku dalam-dalam dan kurasakan bahuku
basah, Ibu juga menangis.
Aku telah salah menilai
Ibu, mengapa bisa aku mempercayai omongan Sarah dibanding Ibu yang telah
melahirkanku dan susah payah kerja banting tulang untuk membesarkanku sendirian
karena Ayah telah meninggal. Jelas Ibu masih sangat setia pada Ayah. Bodohnya
aku mencurigai wanita yang paling ku sayangi ini.
***
Waktunya
telah tiba, setelah dirias Ibu, aku menuju ke sekolah untuk acara festival, aku
sudah siap hari ini untuk menampilkan yang terbaik.
“Fivi tolong bekerja keraslah karena kau akan memimpin
marching ini sendirian.” Ucap Pak Robi, pelatih marching sekolahku.
“Sendiri Pak? Loh Rara
mana?” Aku terkejut.
“Bapak juga baru
dikabari, Rara mengalami kecelakaan tadi malam ketika mengendarai motornya, Ia
tergelincir di jalan yang licin karena semalam hujan deras. Keadaannya tak
parah namun kakinya kesleo, tak
mungkin memimpin barisan dan berjalan
mengelilingi kota.” Jelas Pak Robi.
Aku
memang terkejut namun mau tak mau aku harus melakukannya, menghadapinya,
menikmatinnya. Kupimpin barisan panjang ini sendirian. Ku lempar tongkatku dan
menangkapnya sigap.
“One…
Two… One two three!”
***
Ku
hela napas, Ibu membasuh keringat dipipiku. Semuanya sudah ku lewati dan aku
melakukannya dengan sempurna tanpa cacat seperti saat latihan.
Satu
jam lagi akan diumumkan juaranya. Aku dan barisan marching masih menikmati
udara dialun-alun Wangon ini, banyak juga marching dari sekolah lain. Alun-alun
penuh dengan orang-orang dan penjual makanan, kami sangat menikmati segalanya
hingga tanpa sadar satu jam telah berlalu dengan cepat. Para juri sudah bersiap
memegang mike diatas panggung.
Setelah
salam pembuka dari salah satu Juri, kini saatnya pengumuman dan hatiku berdebar
sangat kencang.
“Baiklah semuanya,
apakah kalian ingin tahu siapa juara 1,2 dan 3 nya?” Semuanya serentak menjawab
“Ya.”
“Dan saya akan
membacakan mulai dari juara 3, yaitu… SMK Muhammadiyah Wangon. Selamat untuk
kalian.”
“Kemudian, juara 2,
yaitu…. SMA… SMA 1 Wangon… selamat untuk kalian.”
“Yang terakhir, juara 1
yaitu yang paling terbaik adalah… SMA… SMA 2 Wangon… Selamat untuk kaliaaan.”
Aku tak kuasa menahan
tangis, aku seorang anak yatim dan anak buangan dari kelas bahasa, dekil dan
selalu dihina ini mampu membawa SMA ku menjadi juara, mampu memimpin barisan
sendirian dan menjadi pemenang. Ku peluk Ibu dan segera menelpon Rara untuk
mengabarkannya, ini semua juga berkat dirinya. Kepada Tuhan ku ucapkan syukur
dan kepada dunia ku ucapkan bahwa… “Dunia, Aku bisa!”
SEMOGA BERMANFAAT!