Sabtu, 29 Oktober 2016

Cerpen pembangkit semangat



Dunia, Aku bisa!
Karya: Tinta Mutiara Nissa

            Dedaunan mulai kering, tak ada genangan air terlihat, begitu juga jiwaku yang gelisah dan suasana hati yang memburuk ditambah pembuangan sampah yang menjadi pemandangan kelasku ini, aromanya sungguh menggoda hidung.

            “Sial! Kenapa aku harus lulus tes itu lagi! Aku sungguh tak habis pikir, bagaimana aku bisa melanjutkannya sementara aku benar-benar tidak minat. Ini semua memang gara-gara Rara!”

            Aku putuskan untuk menemui Rara dikelasnya. Suasana yang berbanding terbalik dengan lingkungan kelasku. Pemandangan taman sekolah yang sungguh indah dihiasi kupu-kupu yang berterbangan disekelilingnya, seketika aku benar-benar ingin jadi anak ipa.

            “Rara sedang rapat osis Vi, mau titip pesan apa? Nanti biar aku sampaikan.” Ucap teman sebangku Rara ketika aku sedang kebingungan mencari batang hidung Rara yang tak kunjung ku temukan.

            “Oh… Ngga usah Nik, nanti aku ke kos-kosannya aja seperti biasa, lagian ga ada yang penting juga sih hehe.” Jawabku mengakhiri percakapan.
***
            “Wahh Fivi, ayo masuk sinih.” Suara Rara dari balik pintu kos-kosannya.

“Rara aku ga terima! Ini semua gara-gara kamu! Kan aku udah bilang hari itu ga mau ikutan tes kaya gituan, tapi kamu malah narik tangan aku. Itu namanya pemaksaan! Tuh kan sekarang jadi gini, besok ada tes lagi dan aku harus berhubungan sama tongkat itu lagiii…” Aku mulai cemberut. 

“Ya itung-itung kamu jadi partner temen lamamu  ini buat ikutan tes kan hahaha… eh tapi kamu juga hebat loh Vi, udah ikut tes tiga kali lulus terus, dari berpuluh-puluh orang sekarang tersisa empat orang dan dua diantaranya itu kita, kalo aku liat kamu itu berbakat sebenernya loh.”

“Ya kalo kamu sih pantes jadi kandidat secara kamu osis udah gitu anak ipa, nah aku?? Berbakat dari hongkong.”

“Udahlah Vi, jangan suka merendah gitu, pokoknya tetep semangat ya.”

***
            Energiku tadi terkuras habis karena nervous, keringatku bercucuran, rasanya seperti sedang berada dalam film horror saja, tatapan bapak ibu guru yang mengujiku tadi benar-benar lebih horror dari serial dunia lain di tv. Untung saja semua sudah berlalu.

            Berjalan ke kelas memang melelahkan, kelas paling pojok dan juga jorok, ah sudahlah. Tapi ada yang aneh, ada sekumpulan anak sedang semangat berdesak-desakan didepan papan informasi itu, karena penasaran aku pun ikut berlayar dilautan manusia yang bau burket ini.

“Eh liat… dia Fivi Ainun dari kelas bahasa, salah satu yang terpilih jadi Mayoret di SMA kita loh hahaha.” Ucap seseorang disebelahku.

“Kok dekil banget sih, anak buangan dari kelas bahasa yah… kasiaan. Yang kaya gini mau jadi mayoret SMA kita? Malu-maluin aja deh” Ucap seseorang yang lain.

“Loh dia itu kan anak dari janda yang jadi penari ronggeng itu kan, jangan heran teman-teman dia itu biasa megat-megot jadinya dipilih jadi Mayoret biar bisa menarik perhatian, ya kaya ibunya yang suka menarik perhatian laki-laki yang sudah beristri, kabarnya juga ibunya itu jadi wanita simpanan gitu. Kamu ga punya malu yah atau ga punya kaca!” Ucap Sarah, dia kakak kelasku dan juga tetanggaku. Dia sudah lama menyimpan dendam padaku entah karena apa, aku juga tak tahu. 

“Hahahaha.” Secara serempak gerombolan anak-anak itu menertawaiku dengan sinis.

            Aku memilih berjalan meninggalkan tempat itu, tak ku dengarkan omongan mereka karena aku sudah cukup biasa untuk mendengarkan cemooh semacam itu, aku menyayangi ibuku, itulah yang terpenting. Dia tak pernah mengeluh meski membesarkanku sendirian, dan pekerjaannya itu, orang lain tak pernah benar-benar paham namun selalu menghina, sifat manusia.

***
            Sudah tiga minggu, aku sungguh bekerja keras untuk festival yang hanya tinggal seminggu lagi, untung saja Rara juga lulus dalam tes itu dan kami berdua akhirnya bersama lagi. Karena hanya kami berdua maka kami sungguh sangat bekerja keras untuk memimpin barisan marching band sekolah kami yang sudah terkenal, ya SMA 2 Wangon memang terkenal dengan marching band nya. Kami harus menghafalkan 10 lagu dengan notnya untuk pianika, belira, senar drum, dan bass, kecerdasan kami sangat diuji dalam hal ini. Jika ada orang yang berkata bahwa mayoret hanya bisa pasang muka, maka aku akan menyumpal mulutnya dengan lembaran not-not ini.

***
            Aku insomnia malam ini, sudah pukul 10 malam tapi mataku tak mau membiarkan tubuhku beristirahat, mungkin karena aku sedang sangat gelisah. Waktu hanya tersisa dua hari lagi sebelum hari festival tiba, tapi… aku belum juga menemukan baju mayoret untuk kupakai. Kemarin aku sudah berkeliling bersama Rara untuk mencari tempat penyewaan baju mayoret dan aku sangat terkejut dengan harga sewanya, Rp.500.000 hanya untuk sebuah baju yang ku pakai sekali. Rara jelas sudah tak gelisah lagi karena dia sudah menyewa salah satu baju mayoret itu kemarin, dengan mudahnya ia mengeluarkan uang sebanyak itu, ah dia kan memang anak orang kaya. 

            Tak kurasa waktu sudah menunjukan pukul 11 malam, aku pun baru menyadari ternyata Ibu belum pulang sudah selarut ini, biasanya Ibu pulang paling lambat pukul 10, apa tempat Ibu manggung untuk menari itu jauh yah sampai membutuhkan waktu lama untuk pulang? Tapi kenapa belakangan ini Ibu sering pulang larut malam? kenapa aku tiba-tiba memikirkan perkataan Sarah waktu itu, dia bilang Ibu itu wanita simpanan? Penggoda laki-laki yang sudah beristri? Kenapa aku mulai curiga pada Ibu? Apa yang dibilang Sarah itu benar? 

“Brum..Brum...” Suara motor terdengar. 

Itu pasti Ibu, kulihat dari jendela kamarku, Ibu diantar oleh seorang laki-laki. Kecurigaanku semakin memuncak. Dia juga membawa plastik besar yang dibungkus rapih, apa itu hadiah? Kepalaku dipenuhi banyak tanda tanya.

“Kreeeek.” Suara pintu terbuka.

            Daripada aku menjadi anak yang berdosa karena mencurigai Ibuku sendiri, aku memilih bertanya langsung saja padanya. Ku besarkan keberanianku. Aku keluar dari kamar dan mendekatinya. Ku lihat Ibu sedang tersenyum-senyum sendiri, senyum tipisnya mengeluarkan aroma kebahagian yang dalam. 

“Eh Fivi kenapa belum tidur Nak, udah malem loh, nanti kesiangan”

“Emm, aku sebenarnya mau tanya sama Ibu, tapi ibu jangan marah ya, tadi itu yang mengantar Ibu siapa? Kenapa ibu sering pulang larut malam belakangan ini?

“Tadi itu teman Ibu Nak…” Sembari mengelus rambutku, namun belum selasai Ia bicara, aku memotongnya karena sudah tak tahan lagi.

“Bu temanku bilang bahwa Ibu itu suka menggoda laki-laki yang sudah beristri dan jadi wanita simpanan, apa itu benar? Siapa laki-laki yang mengantar Ibu tiap malam itu? Lalu apa isi plastik yang ibu gengam itu? Kenapa Ibu senyum-senyum sendiri? Bu jawab dengan jujur aku mohon.” Ku tahan air mata yang ingin menetes ini.

“Ibu paham dengan perasaanmu Nak, tapi apa kau lebih mempercayai temanmu itu dibanding Ibu?” Aku menggeleng. 

“Ibu memang penari ronggeng namun pekerjaan ini Ibu lakukan karena ingin melestarikan budaya dan meneruskan perjuaangan Nenekmu dulu, Ibu selalu pulang malam karena Ibu ada pekerjaan tambahan yaitu merias penari lain untuk mendapatkan uang lebih, lalu uangnya Ibu gunakan untuk menjaitkan baju mayoret untukmu. Ini bukalah plastiknya, isinya baju mayoretmu, Ibu sangat bahagia karena mampu memberikanmu baju ini, maafkan Ibu jika bajunya tak kamu sukai, dan maafkan Ibu juga karena sering pulang larut malam ya Nak.” Aku menangis deras dan Ibu mengelapnya lalu memelukku dalam-dalam dan kurasakan bahuku basah, Ibu juga menangis.

Aku telah salah menilai Ibu, mengapa bisa aku mempercayai omongan Sarah dibanding Ibu yang telah melahirkanku dan susah payah kerja banting tulang untuk membesarkanku sendirian karena Ayah telah meninggal. Jelas Ibu masih sangat setia pada Ayah. Bodohnya aku mencurigai wanita yang paling ku sayangi ini.
***
            Waktunya telah tiba, setelah dirias Ibu, aku menuju ke sekolah untuk acara festival, aku sudah siap hari ini untuk menampilkan yang terbaik. 

            “Fivi tolong bekerja keraslah karena kau akan memimpin marching ini sendirian.” Ucap Pak Robi, pelatih marching sekolahku.

“Sendiri Pak? Loh Rara mana?” Aku terkejut.

“Bapak juga baru dikabari, Rara mengalami kecelakaan tadi malam ketika mengendarai motornya, Ia tergelincir di jalan yang licin karena semalam hujan deras. Keadaannya tak parah namun kakinya kesleo, tak mungkin memimpin barisan dan berjalan  mengelilingi kota.” Jelas Pak Robi.

            Aku memang terkejut namun mau tak mau aku harus melakukannya, menghadapinya, menikmatinnya. Kupimpin barisan panjang ini sendirian. Ku lempar tongkatku dan menangkapnya sigap.
            “One… Two… One two three!”

***
            Ku hela napas, Ibu membasuh keringat dipipiku. Semuanya sudah ku lewati dan aku melakukannya dengan sempurna tanpa cacat seperti saat latihan.
            Satu jam lagi akan diumumkan juaranya. Aku dan barisan marching masih menikmati udara dialun-alun Wangon ini, banyak juga marching dari sekolah lain. Alun-alun penuh dengan orang-orang dan penjual makanan, kami sangat menikmati segalanya hingga tanpa sadar satu jam telah berlalu dengan cepat. Para juri sudah bersiap memegang mike diatas panggung.

            Setelah salam pembuka dari salah satu Juri, kini saatnya pengumuman dan hatiku berdebar sangat kencang.

“Baiklah semuanya, apakah kalian ingin tahu siapa juara 1,2 dan 3 nya?” Semuanya serentak menjawab “Ya.”

“Dan saya akan membacakan mulai dari juara 3, yaitu… SMK Muhammadiyah Wangon. Selamat untuk kalian.”

“Kemudian, juara 2, yaitu…. SMA… SMA 1 Wangon… selamat untuk kalian.”
“Yang terakhir, juara 1 yaitu yang paling terbaik adalah… SMA… SMA 2 Wangon… Selamat untuk kaliaaan.”

Aku tak kuasa menahan tangis, aku seorang anak yatim dan anak buangan dari kelas bahasa, dekil dan selalu dihina ini mampu membawa SMA ku menjadi juara, mampu memimpin barisan sendirian dan menjadi pemenang. Ku peluk Ibu dan segera menelpon Rara untuk mengabarkannya, ini semua juga berkat dirinya. Kepada Tuhan ku ucapkan syukur dan kepada dunia ku ucapkan bahwa… “Dunia, Aku bisa!”

SEMOGA BERMANFAAT!

Senin, 03 Oktober 2016

LIRIK LAGU "KARENA KU SANGGUP" AGNES MONICA

Karena Ku Sanggup

Biarlah ku sentuhmu
Berikanku rasa itu
Pelukmu yang dulu
Pernah buatku

Ku tak bisa paksamu
'tuk tinggal disisiku
Walau kau yang selalu sakiti
Aku dengan perbuatanmu
Namun sudah kau pergilah
Jangan kau sesali

[Reff:]
Karena ku sanggup walau ku tak mau
Berdiri sendiri tanpamu
Ku mau kau tak usah ragu

Tinggalkan aku
Huuu.. kalau memang harus begitu

Tak yakin ku kan mampu
Hapus rasa sakitku
Ku 'kan selalu perjuangkan cinta kita
Namun apa salahku
Hingga ku tak layak dapatkan kesungguhanmu


[Reff:]
Karena ku sanggup walau ku tak mau
Berdiri sendiri tanpamu
Ku mau kau tak usah ragu

Tinggalkan aku
Huuu.. kalau memang harus begitu

Tak perlu kau buatku mengerti
Tersenyumlah karena ku sanggup
 
SEMOGA BERMANFAAT!